Mungkin post pertama pada tahun 2018 ini, saya akan membuat tulisan yang sedikit banyaknya "agak sensitif". Entahlah, perspektif semua orang itu berbeda-beda. Saya gak tahu mau bagaimana memulainya padahal tadi begitu segar dipikiran saya bagaimana saya ingin memberi pesan pada seluruh pembaca di luar sana. Tetapi, mari kita mulai saja.
Perkenalkan saya nama saya Amelia Lita.
Oke, yang baca mungkin sudah tahu itu.
Saya keturunan tionghoa.
Oke, yang baca mungkin bisa tahu dari foto profil saya dan juga judul saya. Mata sipit (walaupun saya sering mengakui mata saya lebih besar ketimbang adik saya), siapalah yang tidak tahu itu sebagai ciri khas dari keturunan Tionghoa.
Saya beragama Buddha.
Anda mungkin mulai mengkerutkan dahi. Ngapain pula anak ini membahas dia agama apa. Penting apa? Dari awal pake perkenalan segala, penting apa?
Eits, tunggu dulu. Biarkan saya menyelesaikan perkenalan saya.
Saya, teman-teman pembaca sekalian, adalah orang Indonesia.
Lalu? Mungkin ada yang bilang begitu.
Emang kenapa?
Ya, tidak apa-apa. Aku tahu, gak jelas kan?
Kalau Anda bisa menangkap dengan cepat, saya setidaknya memberi tahu bahwa saya adalah kaum minoritas di negeri ini. Mmm... tetapi bukan itu juga yang ingin saya sampaikan.
Emang minoritas kenapa? Toh, negara lain juga punya porsi minoritas mereka.
Ya, emang bukan itu masalahnya. Malah menjadi minoritas kadang buat saya merasa unik sendiri. Dan hidup di negeri yang banyak perbedaannya, malah sebenarnya indah.
Jadi?
Jadi, menjadi kaum minoritas itu tidak apa, itu yang selalu kupikirkan. Aku mengangkat bahu, 'meh'. Tetapi jauh di hati kecilku, aku cemas, tidak tenang. Gak enak juga dicap sebagai kaum minoritas. Sebenarnya banyak juga teman-teman minoritas yang mungkin merasa serupa. Kalau tidak, ya.... berarti aku saja.
Curhat toh, mbak?
Iya, curhat. Aku ingin curhat sehabis menonton video yang sedikit mengusikku lalu kemudian banyak memikirkan mengenai itu dan hal lain yang serupa. Aku percaya pasti ada banyak hal yang melatarbelakangkan sebuah tindakan. Seperti bagaimana kejadian tahun '98 mungkin agak membekas pada kebanyakan keturunan tionghoa terutama pada orangtua kami. Coba saja tanyakan kepada orang tua yang keturunan tionghoa, bagaimana perasaan mereka pada tahun itu. Menurut saya, masa itu mungkin masa yang kelam bagi mereka.
Saya percaya sejarah itu penting, latar belakang itu penting. Dari sana kita dapat belajar alasan seseorang bertindak atau berpikir. Jujur karena sudah mendengar mengenai kejadian tahun 98 ini, saya malah merasa bias terhadap certain people. Bahkan, saya sendiri tidak bisa menghentikan diri apabila ada pikiran buruk mengenai orang-orang lain.
Kalau Anda bisa menangkap dengan cepat, saya setidaknya memberi tahu bahwa saya adalah kaum minoritas di negeri ini. Mmm... tetapi bukan itu juga yang ingin saya sampaikan.
Emang minoritas kenapa? Toh, negara lain juga punya porsi minoritas mereka.
Ya, emang bukan itu masalahnya. Malah menjadi minoritas kadang buat saya merasa unik sendiri. Dan hidup di negeri yang banyak perbedaannya, malah sebenarnya indah.
Jadi?
Jadi, menjadi kaum minoritas itu tidak apa, itu yang selalu kupikirkan. Aku mengangkat bahu, 'meh'. Tetapi jauh di hati kecilku, aku cemas, tidak tenang. Gak enak juga dicap sebagai kaum minoritas. Sebenarnya banyak juga teman-teman minoritas yang mungkin merasa serupa. Kalau tidak, ya.... berarti aku saja.
Curhat toh, mbak?
Iya, curhat. Aku ingin curhat sehabis menonton video yang sedikit mengusikku lalu kemudian banyak memikirkan mengenai itu dan hal lain yang serupa. Aku percaya pasti ada banyak hal yang melatarbelakangkan sebuah tindakan. Seperti bagaimana kejadian tahun '98 mungkin agak membekas pada kebanyakan keturunan tionghoa terutama pada orangtua kami. Coba saja tanyakan kepada orang tua yang keturunan tionghoa, bagaimana perasaan mereka pada tahun itu. Menurut saya, masa itu mungkin masa yang kelam bagi mereka.
Saya percaya sejarah itu penting, latar belakang itu penting. Dari sana kita dapat belajar alasan seseorang bertindak atau berpikir. Jujur karena sudah mendengar mengenai kejadian tahun 98 ini, saya malah merasa bias terhadap certain people. Bahkan, saya sendiri tidak bisa menghentikan diri apabila ada pikiran buruk mengenai orang-orang lain.
Tetapi saya jadi paham apa yang melatarbelakangi sikap buruk beberapa orang pada sesama masyarakat di negeri kita ini. Mengapa ada istilah pribumi dan cino. Padahal, toh, kita sama-sama tinggal di Indonesia. Aku dan kamu sama-sama lahir dan besar di negeri ini. Kenapa beda cara ibadah, beda warna kulit, beda pendapat, bisa membuat sebuah perpecahan?
Perbedaan itu Indah bagaikan lantunan orkestra yang indah apabila dipadukan bersama dengan nada maupun instrumen yang berbeda. Kita juga bisa membuat melodi indah di negeri kita ini. Sangat mudah malahan dan malah akan lebih indah dari negara tetangga, kalau saja kita mau. Kalau mau, segalanya pasti bisa tercapai.
Bagaimana caranya?
Saat ini, aku masih berumur 19 tahun. Umur yang masih tergolong muda dan naif. Tetapi inilah saatnya aku dan teman-teman generasi muda lainnya menyadari bahwa kita adalah "Pemimpin Masa Depan". Sadarlah bahwa negeri ini memiliki perbedaan yang dapat melengkapi satu sama lain, dan kalau kita join forces akan menjadi suatu kekuatan yang luar biasa untuk mengatasi permasalahan di negeri ini. Jujur, aku terkadang iri dengan negara sebelah (read: Singapore), yang isi pemerintahannya begitu bewarna dan masyarakat disana sangat menghargai perbedaan masing-masing. Menjadikan perbedaan mereka sebagai sebuah sumber kekuatan.
Teman-teman, sekali lagi, jangan lupa kalau kita adalah pemimpin masa depan. Kalaupun besarnya nanti kita bukan pemimpin di masyarakat. Anda adalah pemimpin diri Anda sendiri. Ayo, kita sama-sama mulai dari sekarang belajar bertoleransi. Belajar mengenai keindahan dan kekuatan negeri ini. Jangan jadikan perbedaan sebagai sumber perpecahan negeri ini. Sudah cukup. Kalau Anda tidak lelah, aku lelah. Walaupun aku baru berumur 19.
Terakhir, untuk menjawab pertanyaan Emang kenapa?
Karena aku, kamu, kita menjadikan Indonesia, Indonesia.
- Gadis keturunan Tionghoa Indonesia yang lelah dengan cak cek cik cok cuk negeri ini.
PS. Maafkan tulisan yang gaje ini. Orangnya gaje sih. Karena menuangkan apa yang ada dipikiran ku ke dalam sebuah tulisan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Aku baru tau kalo ada kejadian 98.-. kukira cuma krisis aja.-.
ReplyDeleteKurang tahu sih kisahnya yang sebetulnya gimana tapi aku diceritaiin oleh selain orangtua dan orang-orang yang ngalamin zaman itu. Krisisnya membutakan masyarakat, katanya untuk keluar itu aja sudah bahaya.
Delete