Sebuah Ruangan (Source: freedesignfile) |
“Mmm…
sudah minggu ke-enam ya,” gumam kakak sambil mencoret tanggal di kalender
kemudian meletakkannya di samping meja.
Hari
ini April 20, 2020. Sudah enam minggu sejak kedua kakak beradik ini menetapkan
untuk tinggal di dalam ruangan ini saja. Hanya keluar dan kembali lagi dengan
plastik berisi barang belanjaan mereka. Mereka adalah anak rantau di pulau Jawa
itu, merantau dari pulau Sumatera demi melanjutkan kuliah di sini. Si kakak
sudah di tahun terakhir kuliah sedangkan si adik masih di tahun pertama
kuliahnya.
Awalnya
aku tidak paham mengapa mereka terus di ruangan ini. Tidakkah anak-anak ini
berkuliah? Namun, tidak perlu tunggu lama untuk mulai memahami situasi di luar
sana. Dari suara video yang diputar oleh salah satu dari mereka bahkan sampai
doa-doa yang mereka ucapkan di malam hari. Aku tahu bahwa ada sesuatu yang
tengah mengancam umat manusia. Sebuah wabah yang dipanggil oleh mereka dengan
sebutan wabah virus COVID-19.
Virus
yang menyerang sistem pernapasan manusia dan dapat menyebabkan mereka yang
terjangkiti untuk mengalami gejala seperti batuk, demam dan sesak nafas. Oleh
karena itu, orang-orang yang berkeluaran diwajibkan untuk menggunakan masker.
Setidaknya, itulah yang kutangkap dari percakapan kakak adik itu karena setelah
itu mereka mulai berdiskusi bagaimana mendapatkan masker ketika harga masker
sudah mulai naik. Masker sekali pakai yang mereka biasanya gunakan telah habis
sedari dulu dan saat ini kebutuhan masker medis lebih mendesak untuk para tim
medis yang tengah berjuang melawan virus ini sehingga kakak beradik itu
mengurung niat untuk membeli masker medis di toko online.
Untungnya,
beberapa hari kemudian ada seorang ibu yang datang dari rumah ke rumah
membagikan masker kain yang telah dijahit oleh para ibu di kompleks perumahan
itu. Kakak beradik itu beserta anak rantau yang masih ada di perumahan itu masing-masing
mendapatkan dua masker kain dari ibu-ibu tersebut. Kakak beradik itu girang
karena keinginan mereka untuk memiliki masker terkabul, sekarang mereka lebih
bisa berhati-hati di tengah wabah ini jika mereka belanja di luar.
Namun,
hari-hari berlalu begitu saja. Awalnya, si Kakak menghitung hari tetapi lama
kelamaan ia berganti menjadi menghitung minggu. Sepertinya pada minggu kedua
atau ketiga, kakak beradik itu bertengkar hebat. Apakah terlalu lama di ruangan
membuat suasana hati seseorang memburuk kemudian memicu pertengkaran?
Setelah
kutelusuri dan dengarkan percakapan mereka dengan seksama, rupanya kedua kakak
beradik itu sedang membahas rencana pulang kampung. Ah, itukah pemicu
pertengkaran mereka?
“Kak,
aku sudah tidak tahan. Aku ingin pulang saja,” sahut adik ke kakaknya yang
sedang duduk di meja belajarnya.
Si
Kakak menoleh adiknya kemudian mendesah, sepertinya mereka telah membahas ini
sebelumnya dan si Adik sedang berusaha untuk mengubah kesepakatan yang telah
mereka ambil sebelumnya.
“Kan,
kemarin-kemarin sudah kita bahas. Kita gak akan pulang dengan kondisi di luar
seperti ini. Bahkan ayah ibu menyetujuinya. Kita di sini aja sampai wabah ini
selesai,” kata Kakak.
“Tapi
kak… teman-temanku yang merantau juga sudah pada pulang! Kalau mereka bisa
pulang, kenapa kita tidak boleh kak?”
“Karena
kita ada nenek di rumah! Nenek sudah berumur 80 tahun ke atas, kalau sekali
kena bisa bahaya. Emang sih kita sekarang tidak ada gejala apa-apa, tapi kan
kita tidak pernah tahu. Pilihan terbaik yang dapat kita lakukan di kondisi saat
ini, adalah tetap di sini!”
Mendengar
itu, si Adik hanya bisa terdiam kemudian mendesah. Sepertinya, percakapan
mereka pada hari itu tetap membuahkan kesepakatan yang sama dengan yang lalu.
Melihat adiknya yang terlihat murung, si Kakak kemudian menghibur adiknya.
“Iya,
kakak tahu, kalau ini susah. Saat ini kamu tahun pertama kuliah, tapi harus menahan
diri untuk pulang rumah. Tapi, kita tunggu saja sebentar sampai wabah ini
mereda, setelah itu kita pulang ya? Karena dengan ini kita bisa jaga keluarga
kita dan orang-orang di sekitar kita,”
Si
Adik hanya mengangguk pelan dan merekapun berpelukan. Malam itu, mereka
mengucapkan doa bersama-sama agar wabah ini segera selesai dan bertelepon
dengan keluarga mereka yang ada di pulau Sumatera.
*
Keseharian
merekapun berlanjut seperti biasanya. Percakapan mereka tentang rencana pulang
tidak lagi membuat mereka bertengkar. Selama 6 minggu ini, mereka menelepon
teman-teman yang masih belum pulang seperti mereka, memberi kabar atau
informasi yang sekiranya dapat meringankan teman-teman mereka dalam menjalani
kesehariannya di perantauan. Terkadang mereka sendiri sering diberi bantuan
oleh para tetangga berupa makanan dan kebutuhan sehari-hari.
Walaupun
awalnya aku tidak terbiasa dengan kehadiran mereka selain pada malam hari atau
pada hari libur, aku sekarang menikmati mengamati kedua kakak beradik ini dalam
kesehariannya dan interaksi mereka dengan sesama umat manusia lainnya. Berkat
mereka, aku dapat melihat sisi lain dari sifat manusia, terutama pada saat-saat
seperti ini. Rupanya seperti kita, para tembok, manusia juga memiliki sisi-sisi
yang berbeda pada diri mereka masing-masing.
Surabaya, 20 April 2020.
-TAMAT-
PS. Cerpen ini berdasarkan pengalaman pribadi dan awalnya diikutsertakan dalam lomba WFH UNAIR 2020 namun tidak shortlisted. Karena merasa sayang sudah dibuatkan namun tidak dibaca jadi saya post ini di blog personal saya dengan harapan bisa menjadi sarana saya untuk belajar mengenai penulisan dari teman-teman yang sekirannya mau memberi kritik dan saran membangun ataupun hanya sekedar membagikan cerita mereka ke saya di kolom komentar seperti saya membagikan cerita ini kepada Anda semua. Anyway, enjoy!
(ali)
Keren, Kak!
ReplyDeleteNarasinya aku suka! Btw, itu dari sudut pandang 'si tembok' ya? Kukira dari sudut pandang makhluk halus����
Tapi, ada sedikit kesalahan. Penyebutan 'Kak' dalam dialog "Tapi kak... " itu bukannya K di awal kapital ya? Setahu aku begitu. Terus di dialog "Tapi kak... " lagi, setahuku elipsis ditulis setelah spasi, jadinya "Tapi, Kak ... " begitu.
Sama di dialog "Iya, kakak tahu, kalau ini susah." kalo bisa tanda koma (,) dihapus salah satu, rasanya kalo begitu agak aneh, cuma pendapatku sih hehe. Terus huruf 'k' di awal kata 'kakak' harusnya kapital. Jadinya "Iya, Kakak tahu kalau ini susah."
Maaf ya, Kak kalau aku sok tahu ^v^ Tapi secara keseluruhan udah bagus kok! Penggambaran tokohnya udah terasa, sifat tokohnya dah langsung keliatan dari percakapan sama narasinya.
Semangat, Kak! o (>‿<✿)
Wahh, makasih masukannya! Noted untuk next penulisan~
Delete