Aku dan kawan-kawan merayakan tahun baru Imlek bersama-sama. Gara-gara mereka, aku tidak sendirian merayakan tahun baru. |
Bertepatan
pada bulan ini tahun lalu, sama seperti yang sedang kulakukan sekarang ini, aku
menimbang-nimbang bagaimana caranya merayakan tahun baru Imlek di kota
perantauan. Dulu di kota Surabaya, tempat aku berkuliah. Sekarang di Tangerang,
tempat aku melaksanakan praktek kerja lapangan.
Memang
sebagai mahasiswa yang merantau ke pulau Jawa, biaya tiket tidak akan murah.
Apalagi tiket pesawat yang sekarang sudah naik. Toh, lagipula libur Imlek hanya
sehari. Akhirnya, kuurung niat untuk pulang ke kampung halaman. Tak pernah
menjadi pilihan pertama, namun selalu membayang di pikiranku. Seandainya,
seandainya.
Sedih
sudah pasti. Melebihi perayaan hari besar lainnya, hari raya Imlek mengalahkan
semua tanggal merah yang ada di kalender. Mau seberapa lama tanggal merah
tersebut, di hatiku hari raya Imlek lah yang paling kutunggu-tunggu. Aku
bahkan bisa menghafal apa saja yang akan dilakukan seandainya aku pulang. Makan
bersama keluarga besar di malam tahun baru Imlek, nonton kembang api di jendela
rumah kakek nenekku dan ketika hari berganti, satu keluarga besar akan
berkumpul dan bercengkerama di ruang tamu kakek nenek. Sungguh membosankan
karena sudah dapat di tebak, namun tetap tak ingin kulewatkan setiap tahunnya.
Tetapi
yang namanya merantau untuk ilmu, aku tidak bisa begitu saja memutuskan untuk
pulang. Sedih sudah pasti, tetapi tabu untuk merayakan tahun baru dengan
menangis dan bersedih. Mama bilang tahun baru itu harus disambut dengan senang
biar sepanjang tahun kita bisa terus senang dan bahagia. Jika kita sambut
dengan marah dan sedih maka sepanjang tahun pula kita akan dibuat sedih dan
penuh amarah.
Yah,
mungkin itu adalah mitos yang tak masuk akal. Namun, kepercayaan itu lah yang
membuatku bangkit dari rasa sedih karena tidak bisa ikut meraykan bersama keluarga. Dengan tekad untuk menyambut tahun baru Imlek maka kurencanakan berminggu-minggu sebelumnya apa yang akan kulakukan saat
hari raya Imlek datang.
Kuajak kawanku yang kebetulan senasib, di kota perantauan dan tidak bisa
merayakan tahun baru Imlek bersama keluarga. Lalu kurencanakan perjalanan
kami, mencari-cari tempat dan kegiatan yang kira-kira asyik untuk kita lakukan
selama seharian penuh. Imlek pun datang, beribuan kilometer sana keluargaku
merayakan tahun baru Imlek di rumah kakek nenekku sedangkan yang di Surabaya
bersiap-siap untuk keluar.
Memakai sepasang
pakaian baru yang telah dipersiapkan untuk tahun baru, mendandani wajah polos yang jarang sekali terolesi oleh bedak, serta mengikat dan melepas ikatan rambut sampai merasa puas dengan penampilanku hari itu. Hanya pada tahun
baru Imlek, aku merasa harus lebih ekstra sebelum meninggalkan kamar kos. Kemudian,
seperti yang aku rencanakan dengan kawanku, kita menghabisi waktu liburan imlek
kami dengan puas. Hari itu, tak satupun dari kami menyentuh tugas kuliah.
Pokoknya kita bisa melepaskan penat dan merayakan tahun baru sepenuh hati.
Tahun
itu, Imlekku terasa berbeda. Tidak seperti rutinitas di rumah kakek nenek,
tetapi tetap hangat untuk dikenang di malam yang berhujan ini. Sama seperti malam itu. Namun kamar kos yang ramai mengalahkan sunyi sepi yang disuguhkan
oleh hujan. Ah, benar-benar hari raya yang sungguh berkesan.
Kalau hari raya mu bagaimana?
-ali
#katahatiproduction
#katahatichallenge
0 comments:
Post a Comment