Annica yang berarti ketidakekalan. Di muka dunia ini, tidak ada yang kekal. (Sumber foto: Amelia Lita) |
“Kau tak pernah berubah, Jen,” kata Roni ketika aku memasuki mobilnya.
“Oh, ya? Kenapa begitu?” tanyaku, mengangkat alis.
Dia menatapku sesaat, seakan jawabannya terpampang di
hadapannya, sebelum menjawab, “Entahlah, Jen, kamu emang selalu begitu adanya.”
“Soalnya, teman-teman kita yang keluar merantau mengalami
perubahan yang benar-benar berbeda sekali. Cuman, kok, kamu enggak ya?”
“Mana kutahu. Aku rasa aku berubah, kok,” balasku ketus.
“Yah, mungkin kamu
sendiri deh yang bisa menilai diri sendiri ya,” katanya sambil tertawa ringan.
Lalu percakapan kami berhenti sampai situ. Aku yang sudah
malas membalasanya dan dia yang sudah mulai fokus menyetir. Untunglah diluar
sana hujan, dan ada lagu yang menemani perjalanan kami sehingga dua insan yang
tidak saling bertutur kata tidaklah menjadi masalah.
Perjalanan kami lumayan jauh, setidaknya satu jam baru tiba
ke titik pertemuan dengan kawan-kawan lainnya. Rencananya kami akan bertemu
dengan teman-teman SMA setelah lima tahun menempuh jalannya masing-masing. Aku
yang biasanya sering berkutat di rumah dan jarang berpergian dengan teman-teman
setiap pulang dari perantauan akhirnya keluar juga dari rumah. Sebenarnya,
siapa sih yang akan melewati kesempatan untuk reunian dengan teman-teman dari
kampung halaman?
Ketika kami sampai ke rumah makan tujuan, beberapa
teman-teman sekolah sudah berkumpul. Seperti biasa, aku dan Roni menduduki
kursi yang kosong dan mulai bercengkerama dengan kawan-kawan sekolah lainnya.
Rasanya menyenangkan sekali bagi kami yang baru saja mengambil bagian di
masyarakat untuk membahas pekerjaan kami. Ada yang sekarang telah menjadi akuntan,
ada yang menjadi programer, ada yang
baru saja diangkat menjadi manajer, ada yang sudah menjadi teknisi, ada yang
sedang koas, ada yang sudah menjadi pengacara, ada yang menjadi perancang
busana, dan banyak lagi yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Pekerjaan yang
dimiliki teman-teman semuanya unik, begitu juga dengan cerita-cerita mereka
selama lima tahun ini.
***
Aku sedang asyik berbicara dengan teman-teman sebelum kemudian
segerombolan teman-teman lainnya bergabung dengan kami.
“Maaf, aku telat teman-teman,” sebuah suara yang sangat
kukenali terdengar di telingaku. Aku segera menoleh.
Dialah Angga, salah satu kawanku sejak SMA. Mungkin setengah
dari motivasiku untuk datang ke reunian ini adalah dia. Sudah lama tidak
bertemu dengannya sejak ia mulai berkuliah di luar negeri. Biasanya ketika ia pulang
saat libur kuliahnya, aku tetap susah bertemu dengannya karena jadwal libur
yang berbeda. Ada rasa yang menyelipiku dengan kegirangan, ada banyak cerita
yang dapat kita bagikan ke sesama, namun ada pertanyaan yang menjanggal di
hatiku pada saat itu.
“Hei Ngga, apa kabar?” kataku ketika ia duduk dihadapanku.
“Baik,” balasnya singkat sambil merapikan rambutnya. Mukanya
terlihat sedikit kesal mungkin karena kehujanan.
“Btw, Ngga, kok
kamu gak balas chat-ku kalau kamu
bakalan datang?” tanyaku, melihat sekilas telepon genggamnya lalu ke dia.
“Oh, iya, sorry
nih, aku sibuk soalnya. Jadi gak sempat kubalas. Kamu kan tahu aku begini,”
jawabnya.
Tidak, aku tidak tahu. Aku tidak paham dan tidak tahu menahu
tentang sisinya yang ramai di grup sosial media dan jelas-jelas membalas
kawan-kawan lain secara pribadi tetapi tidak denganku. Aku pikir dengan bertemu
dengannya, mungkin perasaan tak menentu ini hanyalah salah paham. Karena aku
tidak sampai hati berpikir bahwa persahabatan kami sudah tidak seperti dulu
lagi. Mungkin hanya salah paham, dia mungkin memang sibuk.
“Ngaa…,” aku memanggilnya, berusaha menepiskan pikiran
burukku dan hanya ingin bercerita dengannya.
Aku tidak tahu apakah ia mendengarku, namun ia beranjak dari
kursinya dan kemudian bergabung dengan kawan-kawan lain di seberang meja. Ramai
seperti biasanya, itulah Angga.
“Oi, Ngga, gimana
kabarmu?” Ada teman yang menanyainya pertanyaan yang serupa denganku. Aku
memasang telinga untuk mendengarnya.
“Baik, Fin! Eh, kamu tahu kemarin ketika aku di Amerika sana…,”
Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka setelah itu,
mungkin karena suara hujan atau mungkin karena pikiranku. Rasanya aku tenggelam
dan tidak bisa mendengarkan keramaian yang terjadi di sekitarku. Di ujung meja,
Angga menceritakan kisahnya yang menarik perhatian semua yang berada di meja
panjang itu. Di sisi berlawanan dari meja itu pula, aku mendengarkan suara
hujan yang setia menemani kami sepanjang malam. Ah, kenapa suara hujan begitu
merdu dan menenangkan ya?
***
Malam itu, aku kembali menebeng mobil Roni untuk pulang. Kali
ini, hanya lagu yang menemani perjalanan kami dengan sesekali aku dan Roni membahas
cerita-cerita dari kawan lama kami. Tetapi, aku lebih banyak diam
mendengarkannya bercerita. Setengah dari semangatku sudah dirampas oleh
setengah dari motivasiku.
Angga telah berubah. Kawan lamaku tidak lagi seperti dulu
dan yang lebih parah lagi, persahabatan kami sudah tidak seperti dulu lagi. Aku
berlarut-larut dalam pikiran itu. Apakah aku yang tidak berubah seperti yang
dikatakan teman-teman? Apakah aku yang masih terbayang dengan masa lalu
sehingga tidak bisa menerima kalau orang-orang pasti berubah?
Apakah?
Apakah?
Apakah?
Aku memikirkan semua kemungkinan yang dapat disodorkan “apakah”
ke aku dan tak satupun yang bisa membantu menjawab pertanyaan, “Apa salahku?”
Malam itu, hujan sudah lama berhenti. Suara lagu terdengar
sangat nyaring di dalam mobil. Pikiranku terpecah ke sebuah lagu, seketika menyedot
perhatianku sepenuhnya.
Jangan pernah berubah
Selamanya
'Kan kujaga dirimu
Seperti kapas putih di hatiku
Takkan kubuat noda
'Kan kujaga dirimu
Seperti kapas putih di hatiku
Takkan kubuat noda
Memang makna dari lagunya menceritakan sepasang kekasih
namun pada saat itu, lagu tersebut tertancap dalam hatiku. Seakan semesta tahu
apa yang kupikirkan, bisa-bisanya lagu ini diputar di radio. Aku tertawa.
“Kenapa Jen? Tiba-tiba ketawa,” sahut Roni, heran
mendengarku yang diam sedari tadi.
“Oh, tidak apa,” jawabku sambil tersenyum tipis.
Malam itu, aku terus bersenandung lagu yang barusan saja
diputar. Tidak lagi memikirkan apa salahku dan kenapa hubungan kami tidak
seperti dulu. Jika ada yang berubah, biarlah berubah. Tidak ada pihak yang
dapat disalahkan karena perubahan. Bisa-bisanya aku lupa kalau tiada yang kekal
di muka bumi ini. Terima kasih semesta, sudah mengingatkanku.
-ali
#katahatichallenge
#katahatiproduction
----------
----------
(Tulisan ini diinspirasi oleh lagu Jangan Pernah Berubah oleh Marcell dan kenyataan bahwa memang di dunia ini tak ada yang kekal. Tidak akan mungkin mengharapkan seseorang untuk 'tidak berubah'.)
0 comments:
Post a Comment