Saturday, January 26, 2019

, ,

Tiada Yang Kekal Di Muka Bumi Ini

Annica yang berarti ketidakekalan. Di muka dunia ini, tidak ada yang kekal. (Sumber foto: Amelia Lita)

“Kau tak pernah berubah, Jen,” kata Roni ketika aku memasuki mobilnya. 

“Oh, ya? Kenapa begitu?” tanyaku, mengangkat alis. 

Dia menatapku sesaat, seakan jawabannya terpampang di hadapannya, sebelum menjawab, “Entahlah, Jen, kamu emang selalu begitu adanya.”

Aku berkerinyit, heran melihat temanku yang satu ini. Hampir setiap tahun aku pulang dari perantauan, begitu pula balasan teman-teman apabila mereka melihatku. Padahal aku sendiri merasa kalau aku telah berubah. Dari segi penampilan, memang tidak ada perubahan drastis namun aku bisa merasakan sendiri perubahan dari diriku. Bisa-bisanya kawan-kawan di kampung halamanku selalu bilang gitu? Diam-diam aku merasa sedikit kesal.

“Soalnya, teman-teman kita yang keluar merantau mengalami perubahan yang benar-benar berbeda sekali. Cuman, kok, kamu enggak ya?”

“Mana kutahu. Aku rasa aku berubah, kok,” balasku ketus.

Yah, mungkin kamu sendiri deh yang bisa menilai diri sendiri ya,” katanya sambil tertawa ringan.

Lalu percakapan kami berhenti sampai situ. Aku yang sudah malas membalasanya dan dia yang sudah mulai fokus menyetir. Untunglah diluar sana hujan, dan ada lagu yang menemani perjalanan kami sehingga dua insan yang tidak saling bertutur kata tidaklah menjadi masalah. 

Perjalanan kami lumayan jauh, setidaknya satu jam baru tiba ke titik pertemuan dengan kawan-kawan lainnya. Rencananya kami akan bertemu dengan teman-teman SMA setelah lima tahun menempuh jalannya masing-masing. Aku yang biasanya sering berkutat di rumah dan jarang berpergian dengan teman-teman setiap pulang dari perantauan akhirnya keluar juga dari rumah. Sebenarnya, siapa sih yang akan melewati kesempatan untuk reunian dengan teman-teman dari kampung halaman?

Ketika kami sampai ke rumah makan tujuan, beberapa teman-teman sekolah sudah berkumpul. Seperti biasa, aku dan Roni menduduki kursi yang kosong dan mulai bercengkerama dengan kawan-kawan sekolah lainnya. Rasanya menyenangkan sekali bagi kami yang baru saja mengambil bagian di masyarakat untuk membahas pekerjaan kami. Ada yang sekarang telah menjadi akuntan, ada yang menjadi programer, ada yang baru saja diangkat menjadi manajer, ada yang sudah menjadi teknisi, ada yang sedang koas, ada yang sudah menjadi pengacara, ada yang menjadi perancang busana, dan banyak lagi yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Pekerjaan yang dimiliki teman-teman semuanya unik, begitu juga dengan cerita-cerita mereka selama lima tahun ini.

***
Aku sedang asyik berbicara dengan teman-teman sebelum kemudian segerombolan teman-teman lainnya bergabung dengan kami.

“Maaf, aku telat teman-teman,” sebuah suara yang sangat kukenali terdengar di telingaku. Aku segera menoleh. 

Dialah Angga, salah satu kawanku sejak SMA. Mungkin setengah dari motivasiku untuk datang ke reunian ini adalah dia. Sudah lama tidak bertemu dengannya sejak ia mulai berkuliah di luar negeri. Biasanya ketika ia pulang saat libur kuliahnya, aku tetap susah bertemu dengannya karena jadwal libur yang berbeda. Ada rasa yang menyelipiku dengan kegirangan, ada banyak cerita yang dapat kita bagikan ke sesama, namun ada pertanyaan yang menjanggal di hatiku pada saat itu.

“Hei Ngga, apa kabar?” kataku ketika ia duduk dihadapanku. 

“Baik,” balasnya singkat sambil merapikan rambutnya. Mukanya terlihat sedikit kesal mungkin karena kehujanan.

Btw, Ngga, kok kamu gak balas chat-ku kalau kamu bakalan datang?” tanyaku, melihat sekilas telepon genggamnya lalu ke dia.

“Oh, iya, sorry nih, aku sibuk soalnya. Jadi gak sempat kubalas. Kamu kan tahu aku begini,” jawabnya.

Tidak, aku tidak tahu. Aku tidak paham dan tidak tahu menahu tentang sisinya yang ramai di grup sosial media dan jelas-jelas membalas kawan-kawan lain secara pribadi tetapi tidak denganku. Aku pikir dengan bertemu dengannya, mungkin perasaan tak menentu ini hanyalah salah paham. Karena aku tidak sampai hati berpikir bahwa persahabatan kami sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin hanya salah paham, dia mungkin memang sibuk.

“Ngaa…,” aku memanggilnya, berusaha menepiskan pikiran burukku dan hanya ingin bercerita dengannya.

Aku tidak tahu apakah ia mendengarku, namun ia beranjak dari kursinya dan kemudian bergabung dengan kawan-kawan lain di seberang meja. Ramai seperti biasanya, itulah Angga.

Oi, Ngga, gimana kabarmu?” Ada teman yang menanyainya pertanyaan yang serupa denganku. Aku memasang telinga untuk mendengarnya. 

“Baik, Fin! Eh, kamu tahu kemarin ketika aku di Amerika sana…,” 

Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka setelah itu, mungkin karena suara hujan atau mungkin karena pikiranku. Rasanya aku tenggelam dan tidak bisa mendengarkan keramaian yang terjadi di sekitarku. Di ujung meja, Angga menceritakan kisahnya yang menarik perhatian semua yang berada di meja panjang itu. Di sisi berlawanan dari meja itu pula, aku mendengarkan suara hujan yang setia menemani kami sepanjang malam. Ah, kenapa suara hujan begitu merdu dan menenangkan ya?

***
Malam itu, aku kembali menebeng mobil Roni untuk pulang. Kali ini, hanya lagu yang menemani perjalanan kami dengan sesekali aku dan Roni membahas cerita-cerita dari kawan lama kami. Tetapi, aku lebih banyak diam mendengarkannya bercerita. Setengah dari semangatku sudah dirampas oleh setengah dari motivasiku. 

Angga telah berubah. Kawan lamaku tidak lagi seperti dulu dan yang lebih parah lagi, persahabatan kami sudah tidak seperti dulu lagi. Aku berlarut-larut dalam pikiran itu. Apakah aku yang tidak berubah seperti yang dikatakan teman-teman? Apakah aku yang masih terbayang dengan masa lalu sehingga tidak bisa menerima kalau orang-orang pasti berubah?

Apakah?

Apakah?

Apakah?

Aku memikirkan semua kemungkinan yang dapat disodorkan “apakah” ke aku dan tak satupun yang bisa membantu menjawab pertanyaan, “Apa salahku?”


Malam itu, hujan sudah lama berhenti. Suara lagu terdengar sangat nyaring di dalam mobil. Pikiranku terpecah ke sebuah lagu, seketika menyedot perhatianku sepenuhnya.

Jangan pernah berubah
Selamanya
'Kan kujaga dirimu
Seperti kapas putih di hatiku
Takkan kubuat noda

Memang makna dari lagunya menceritakan sepasang kekasih namun pada saat itu, lagu tersebut tertancap dalam hatiku. Seakan semesta tahu apa yang kupikirkan, bisa-bisanya lagu ini diputar di radio. Aku tertawa.

“Kenapa Jen? Tiba-tiba ketawa,” sahut Roni, heran mendengarku yang diam sedari tadi. 

“Oh, tidak apa,” jawabku sambil tersenyum tipis.


Malam itu, aku terus bersenandung lagu yang barusan saja diputar. Tidak lagi memikirkan apa salahku dan kenapa hubungan kami tidak seperti dulu. Jika ada yang berubah, biarlah berubah. Tidak ada pihak yang dapat disalahkan karena perubahan. Bisa-bisanya aku lupa kalau tiada yang kekal di muka bumi ini. Terima kasih semesta, sudah mengingatkanku.

-ali
#katahatichallenge
#katahatiproduction
----------
 
(Tulisan ini diinspirasi oleh lagu Jangan Pernah Berubah oleh Marcell dan kenyataan bahwa memang di dunia ini tak ada yang kekal. Tidak akan mungkin mengharapkan seseorang untuk 'tidak berubah'.)


Share:

0 comments:

Post a Comment