Seated Female Nude, 1921 oleh M.C. Escher (Sumber: https://www.mcescher.com/gallery/early-work/seated-female-nude-iv/) |
Beberapa hari yang lalu
saya menantang diri saya untuk mengikuti “10 Kali Tantangan Menulis” dari
Katahati. Mengikuti tantangan ini benar-benar melatih saya dalam menulis.
Temanya pun sangat menarik dan saya sangat senang dapat turut serta dalam
kegiatan ini. Salah satu tantangannya adalah menulis resensi puisi yang
merupakan tantangan ketujuh. Sebagai gadis yang sangat menyenangi karya seni
dan sastra, sebenarnya untuk memberi opini mengenai suatu sastra terdengar
sangat menarik. Namun saya hanyalah seorang amatir dan di sini saya membagi
secuil sudut pandang dari ribuan sudut pandang lainnya yang dapat dihasilkan
dari interpretasi sebuah puisi.
Puisi yang saya pilih
adalah hasil karya Faisal Oddang berjudul Seated Female Nude, 1921. Sejujurnya
saya sendiri sangat tertarik dengan pilihan judulnya. Sebuah puisi berbahasa
Indonesia yang diberi judul bahasa Inggris memberi kesan yang janggal dan juga
sebuah pertanyaan.
Mengapa judulnya seperti itu?
Ketika saya membaca puisi
tersebut saya mengetahui bahwa puisinya terinspirasi oleh karya seni rupa M.C.
Escher yang merupakan seorang seniman asal Belanda. Saya sangat menyukai cerita
di balik sebuah karya sastra dan mencoba untuk memahami motivasi seorang
pensyair menulis karya-karyanya adalah hal yang menarik. Maka saya mencoba
berselancar di Google untuk melihat
karya M.C. Escher yang dimaksud – Seated Female Nude, 1921 – dan rupanya memang
ada.
Mungkin kumpulan puisi
pada Three Worlds, 1955 oleh Faisal Oddang merupakan puisi apresiasi dan
interpretasi terhadap karya seni M.C. Escher. Di puisinya Faisal Oddang bisa menghasilkan
sebuah karya sastra dari sebuah lukisan, memberi interpretasi yang menurut saya
sangat menarik apalagi jika melihat karya seni yang dimaksud oleh puisi.
Puisi Faisal Oddang
memaksa pembaca untuk membayangkan karya seni yang dimaksud oleh puisi. Saya
sendiri memiliki gambaran karya seninya saat pertama kali membaca. Namun
setelah melihat hasil karya seni ‘Seated
Female Nude’ dan kembali membaca puisinya, ada hal baru yang saya dapatkan.
“Beginikah perasaannya ketika melihat karya seni tersebut?” Saya seakan-akan
dibawa ke sebuah galeri untuk melihat karya seni itu dan melihat inspirasi
dibalik penulisan puisi Faisal Oddang. Sebagai penikmat sastra, saya dibuat
kagum.
Seated Female Nude, 1921
Aku menebak apa yang dipikirkan
cahaya lampu tentang tubuhmu,
aku menebak apa yang tengah
kau renungi, jika sebenarnya
perkara paling rumit di dunia
ini adalah persoalan sederhana.
Apa yang kupikirkan tentang
sepasang puting susumu adalah
apa yang kau pikirkan tentang
sepasang bola mataku
; apa yang patut disembunyikan
jika kemaluan telah pindah
dari selangkang ke kepalamu?
Interpretasi
puisi Seated Female Nude, 1921
Setelah membaca puisi
tersebut serta melihat karya seni M.C. Escher kita akan mendapati bahwa Faisal
Oddang sedang menggambarkan karya seni tersebut melalui puisinya seperti ‘cahaya lampu’, ‘apa yang tengah kau renungi’, dan ‘sepasang puting susumu’. Hal ini bisa kita amati bahwa cahaya lampu
pada karya seni menunjukkan lampu sorot yang seakan-akan menyoroti model
telanjang itu dari atas. Dengan gayanya, perempuan itu seolah-olah terlihat
sedang berpikir dan karena telanjang maka kedua payudaranya terlihat. Ini semua
dideskripsikan pada puisi ini.
Aku menebak apa yang dipikirkan
cahaya lampu tentang tubuhmu,
Puisi dimulai dengan
menebak apa yang dipikirkan cahaya lampu, sebuah benda mati, terhadap tubuh
perempuan yang telanjang itu. Biasanya cahaya, seperti lampu sorot, menyinari
sesuatu yang sepatutnya diberi perhatian. Jika dalam dunia teater, tempat lampu
sorot menyinari maka di sanalah perhatian penonton tertuju. Umumnya, tubuh yang
telanjang bukanlah sesuatu yang sepatutnya diberi perhatian oleh orang-orang.
Tubuh telanjang mungkin dapat disimbolkan sebagai hal yang tak lumrah atau tak
sepatutnya. Sehingga penulis terkesan heran, mengapa tubuh yang telanjang
diberi perhatian?
aku menebak apa yang tengah
kau renungi, jika sebenarnya
perkara paling rumit di dunia
ini adalah persoalan sederhana.
Melalui gaya perempuan
yang memberi kesan sedang berpikir, penulis membayangkan apa yang kira-kira
terbesit di pikiran si perempuan. Ia menulis bahwa apa yang mungkin dipikirkan
oleh perempuan tersebut bisa jadi adalah hal yang sederhana. Menurut saya,
baris ini menggambarkan kenyataan yang ada di luar sana. Manusia pada umumnya
adalah makhluk berpikir, masalah yang mereka pikirkan terkadang menurut mereka
adalah hal yang sulit padahal bisa jadi perkara sederhana. Namun, pikiran kita
senang mempersulit masalah-masalah tersebut alias overthinking.
Apa yang kupikirkan tentang
sepasang puting susumu adalah
apa yang kau pikirkan tentang
sepasang bola mataku
Karena apa yang diperlihatkan
oleh si perempuan itu adalah hal yang tidak sepatutnya, yakni telanjang, maka
penulis maupun si perempuan telanjang memikirkan hal yang sama. Kedua orang
tersebut seakan-akan sedang saling menghakimi, perempuan tersebut terhadap
mata si penulis dan si penulis terhadap kondisi telanjang si perempuan. Maksud
dari penulis adalah orang-orang yang biasanya sedang memperlihatkan sesuatu
yang tidak patut akan tahu bagaimana orang-orang memandang dia, apalagi jika
orang tersebut tahu ia sedang melakukan hal yang tidak seharusnya.
; apa yang patut disembunyikan
jika kemaluan telah pindah
dari selangkang ke kepalamu?
Di akhir puisi, penulis
menutup bait terakhir dengan sebuah pertanyaan yang seakan-akan tertuju pada si
perempuan telanjang itu. Karena apa yang diperlihatkan oleh si perempuan adalah
hal yang tidak patut maka seharusnya si perempuan akan malu untuk menunjukkan
mukanya di depan khalayak. Ini bisa disimbolkan dengan pemilihan diksi ‘kemaluan’ yang seperti kita ketahui
adalah sesuatu yang sangat privat dan pada umumnya tidak kita tunjuk ke
sembarang orang. Namun si perempuan yang telanjang telah menunjukkan ‘kemaluan’-nya ke banyak orang seperti
halnya kita menunjukkan muka kita ke orang lain.
Di sini, tanda baca titik
koma pada puisi memberi sebuah makna sepadan dengan baris diatasnya. Penggunaan
titik koma menurut saya memberi efek yang sangat kuat di akhir puisi. Sehingga
pemaknaan pun bisa jadi berbeda. Menurut saya, pemaknaan bait terakhir dapat
diartikan bahwa seseorang yang menunjukkan sesuatu yang tidak patut di
masyarakat akan menjadi malu dan ingin menyembunyikan mukanya.
Akhir
kata dari seorang pembaca
Membaca puisi ini
berulang-ulang dan mencoba untuk memaknainya baris per baris, saya sedikit
banyaknya mencoba memahami apa yang kira-kira dipikirkan Faisal Oddang saat
menulis puisi ini. Bisa jadi interpretasi saya salah, bisa jadi benar. Ini
hanyalah persoalan perspektif.
Namun melihat makna yang
tersirat saat membedah puisi ini. Saya jadi tersadar bahwa Faisal Oddang tidak
hanya mendeskripsikan karya seni M.C. Escher tetapi juga mengambarkan realitas
masyarakat kita. Masyarakat kita yang senang memberi perhatian lebih pada
kesalahan atau sesuatu yang tidak patut. Masyarakat yang senang menghakimi dan
mempersulit suatu perkara. Lalu, apa yang akan dipikirkan oleh orang-orang yang
melakukan hal yang tak patut? Adakah rasa malu terhadap perbuatannya? Di mana ia harus menyembunyikan mukanya atau
malah sudah tidak tahu malu?
Ah, mungkin saya yang
banyak mikir. Perkara sederhana kok dipersulit.
#katahatichallenge
#katahatiproduction
-ali
---------
Bagi Anda yang tertarik membaca karya-karya lain Faisal Oddang dapat membacanya melalui tautan ini: https://basabasi.co/puisi-puisi-faisal-oddang-three-worlds-1955/
Wah, aku juga mengulas puisi yang sama! Apa boleh berdiskusi bersama, Kak?
ReplyDeleteBoleh sekali kak! Saya sendiri tertarik dengan pandangan orang lain mengenai puisi ini.
DeleteHai, aku suka sekali dengan pembahasan blog ini! Blow my mind! Your words are wonderful... Salam kenal kak Amelia Lita. Aku dari Bandarlampung. Let's share stories! Find me at email :)
ReplyDeleteHi, Salam Kenal Belen! Terima kasih! Senang sekali jika kamu suka dengan pembahasan puisi ini!
Delete