![]() |
Sang Pemburu dan Hutan Plastik (Gambar bukan milik penulis) |
Seseorang lelaki yang sudah tua keluar dari rumah berkayunya. Ia bergegas memasukkan kunci pada lubang kunci seusai menutup pintu. Seakan-akan rumah itu akan dirampok apabila tidak dikunci dengan baik, ia berkali-kali memastikannya dengan memutar kunci dan gagang pintunya. Setelah puas, ia bergegas mengangkat senapannya meninggalkan rumahnya yang berada di tengah-tengah hutan. Lelaki yang sudah tua namun kekar itu rupanya seorang pemburu.
Pagi itu, udara sangat
segar. Sisa-sisa hujan kemarin malam membuat tanah yang ditapaki basah. Udara sejuk
menjelma titik-titik air di atas dedaunan. Pohon-pohon berdiri megah dan teduh,
membiarkan hanya sedikit cahaya matahari diatas melaluinya dan bayangan lekuk
pohon saling bertumpang tindih dibawahnya. Suara-suara burung dan serangga mulai berkicau
menyambut fajar. Sang pemburu terus berjalan
memasuki hutan belantara meninggalkan jejak setiap langkahnya.
Di setiap langkahnya,
sang pemburu terjaga. Mata liarnya mengamati sekeliling layaknya harimau
mencari mangsanya. Namun di setiap langkah menuju pedalaman hutan, ia dibuat
kesal. Tidak ada satupun waktu dimana ia tidak menemukan rongsokan sampah.
Plastik-plastik dengan berbagai macam warna dan bentuk menempati tanah hutan
itu seolah-olah hutan itu adalah hutan plastik. Plastik harus ada di mana-mana dalam
hutan itu.
“Cuih! Dasar, orang-orang kota! Mau menikmati alam kok buang
sampah!” desisnya sambil meludahi plastik-plastik di tanah kemudian terus
berjalan melangkahi plastik-plastik lainnya.
***
Setelah satu jam berjalan
di ‘hutan plastik’ itu, sang pemburu yang kian muak duduk berteduh di bawah
pohon. Buruannya hari ini tidak memuaskan, hanya dua ekor kelinci. Umurnya yang
sudah tua mulai mengejarnya juga, tubuhnya sudah gak sekuat sedia kala sehingga
ia memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum lanjut beruburu. Bahkan
ketika duduk tadi, ia harus menyingkirkan plastik-plastik dibawah pohon
tersebut, darahnya mendidih melihat hutan berubah menjadi rongsokan plastik.
“Ya, Tuhan. Beginikah
hutan-hutan yang akan diwariskan ke anak cucu bangsa ini? Lama kelamaan
punahlah hutan ini, punahlah seluruh isinya, dan punahlah kami.” pikirnya
sambil memejamkan matanya sebentar.
Beberapa menit memejamkan
mata terasa seperti selamanya. Ia terjaga setelah mendengar suara gerisik
ranting dedaunan serta kresek
plastik, sesuatu sedang mendekat. Diintipnya sesuatu itu dengan pelan dibalik
pohon, kedua tangannya mendekap senapannya ke dada. Jantungnya berdegup kencang
saat ia melihat seekor beruang madu, perasaan takut serta girang menjalar ke
tubuhnya membuat badan tua itu kembali segar. Ini sebuah kesempatan!
Pelan-pelan sang pemburu
beranjak dari tempat ia berteduh, berdiri tegap sambil terus memegang
senapannya dengan mantap. Ia kembali mengintip gerak-gerik si beruang madu.
Untungnya beruang madu tersebut masih belum menyadari kehadiran pemburu yang
mengintainya. Ia sedang sibuk dengan kresek
plastik yang terjerat di kakinya, berusaha melepaskannya sambil sesekali mengeluarkan
rintihan, mungkin ia juga sedang mengeluh.
Kakek tua itu mulai
membidik senapannya ke arah beruang madu. Ia memfokuskan pandangannya pada si
mangsa. Ia mendekati beruang madu, mencari posisi yang paling pas untuk melepaskan
peluru. Langkahnya yang mantap senyap di atas tanah. Semua dilakukan dengan
mudah, mungkin terlalu mudah bagi si pemburu yang sudah bertahun-tahun
melakukannya sampai ia tidak sengaja menginjak botol plastik di tanah.
Kreeek…. Sreekkk.
Suara itu membelah
keheningan di hutan itu. Seketika fokus sang pemburu buyar, ia melihat ke bawah
untuk melihat apa yang telah ia injak. Si beruang madu yang juga mendengar
suara tersebut, memalingkan pandangannya dari pria berbahaya itu dan lekas
melarikan diri. Sial! Sang Pemburu
tidak rela membiarkan buruannya kabur di hadapan dia maka dengan segera ia
mengejarnya dan akhirnya melepas peluru dari senapannya.
Dor!
Si beruang tumbang dalam satu
tembakan. Dari jauh sang pemburu mendekati binatang itu. Tubuhnya masih kembang
kempis seolah-olah masih berpegangan pada sisa-sisa kehidupannya. Ketika sang
pemburu sudah berada di depan beruang, ia bisa lihat mata binatang itu
berkaca-kaca. Matanya yang sayu menatap sang pemburu dalam-dalam seakan-akan
sedang menangis dan memohon diampuni oleh si pemburu. Tanpa belas kasihan, sang
pemburu kembali membidik senapannya dan ajal pun menjemput si beruang.
Dor!
Hari itu, sang pemburu
sangat senang dengan hasil buruannya. “Lumayan, bisa untuk dimakan dan dijual,”
pikirnya.
Ia kemudian mulai bersiul
di perjalanan pulang menuju kabin. Tubuhnya yang tua namun kekar itu menyeret bangkai
beruang yang menyimpan dua buah kehidupan yang tak akan mengenal dunia
ini dan hutan plastik itu.
#katahatiproduction
#katahatichallenge
-ali
--------------------
--------------------
((Catatan
Pribadi))
Ada beberapa hal menarik
yang saya temui untuk penulisan cerpen ini. Beruang madu dalam cerita ini
rupanya adalah satu-satunya spesies beruang di Indonesia (maaf, saya baru tahu
sekarang, hahahaha) dan sangat sedih untuk melihat artikel yang memberitakan
bagaimana beruang ini diburu kemudian dimakan (bisa coba cek di google). Indonesia kaya akan flora dan fauna
namun juga sangat rentan apabila penduduknya tidak melestarikan keindahan
keragaman makhluk hidup yang hidup di tanah Nusantara.
0 comments:
Post a Comment