Friday, February 1, 2019

, ,

Sang Pemburu dan Hutan Plastik

Sang Pemburu dan Hutan Plastik (Gambar bukan milik penulis)


Seseorang lelaki yang sudah tua keluar dari rumah berkayunya. Ia bergegas memasukkan kunci pada lubang kunci seusai menutup pintu. Seakan-akan rumah itu akan dirampok apabila tidak dikunci dengan baik, ia berkali-kali memastikannya dengan memutar kunci dan gagang pintunya. Setelah puas, ia bergegas mengangkat senapannya meninggalkan rumahnya yang berada di tengah-tengah hutan. Lelaki yang sudah tua namun kekar itu rupanya seorang pemburu.

Pagi itu, udara sangat segar. Sisa-sisa hujan kemarin malam membuat tanah yang ditapaki basah. Udara sejuk menjelma titik-titik air di atas dedaunan. Pohon-pohon berdiri megah dan teduh, membiarkan hanya sedikit cahaya matahari diatas melaluinya dan bayangan lekuk pohon saling bertumpang tindih dibawahnya. Suara-suara burung dan serangga mulai berkicau menyambut fajar. Sang pemburu terus berjalan memasuki hutan belantara meninggalkan jejak setiap langkahnya.

Di setiap langkahnya, sang pemburu terjaga. Mata liarnya mengamati sekeliling layaknya harimau mencari mangsanya. Namun di setiap langkah menuju pedalaman hutan, ia dibuat kesal. Tidak ada satupun waktu dimana ia tidak menemukan rongsokan sampah. Plastik-plastik dengan berbagai macam warna dan bentuk menempati tanah hutan itu seolah-olah hutan itu adalah hutan plastik. Plastik harus ada di mana-mana dalam hutan itu.

Cuih! Dasar, orang-orang kota! Mau menikmati alam kok buang sampah!” desisnya sambil meludahi plastik-plastik di tanah kemudian terus berjalan melangkahi plastik-plastik lainnya.

***
Setelah satu jam berjalan di ‘hutan plastik’ itu, sang pemburu yang kian muak duduk berteduh di bawah pohon. Buruannya hari ini tidak memuaskan, hanya dua ekor kelinci. Umurnya yang sudah tua mulai mengejarnya juga, tubuhnya sudah gak sekuat sedia kala sehingga ia memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum lanjut beruburu. Bahkan ketika duduk tadi, ia harus menyingkirkan plastik-plastik dibawah pohon tersebut, darahnya mendidih melihat hutan berubah menjadi rongsokan plastik.

“Ya, Tuhan. Beginikah hutan-hutan yang akan diwariskan ke anak cucu bangsa ini? Lama kelamaan punahlah hutan ini, punahlah seluruh isinya, dan punahlah kami.” pikirnya sambil memejamkan matanya sebentar.

Beberapa menit memejamkan mata terasa seperti selamanya. Ia terjaga setelah mendengar suara gerisik ranting dedaunan serta kresek plastik, sesuatu sedang mendekat. Diintipnya sesuatu itu dengan pelan dibalik pohon, kedua tangannya mendekap senapannya ke dada. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat seekor beruang madu, perasaan takut serta girang menjalar ke tubuhnya membuat badan tua itu kembali segar. Ini sebuah kesempatan!
Pelan-pelan sang pemburu beranjak dari tempat ia berteduh, berdiri tegap sambil terus memegang senapannya dengan mantap. Ia kembali mengintip gerak-gerik si beruang madu. Untungnya beruang madu tersebut masih belum menyadari kehadiran pemburu yang mengintainya. Ia sedang sibuk dengan kresek plastik yang terjerat di kakinya, berusaha melepaskannya sambil sesekali mengeluarkan rintihan, mungkin ia juga sedang mengeluh.

Kakek tua itu mulai membidik senapannya ke arah beruang madu. Ia memfokuskan pandangannya pada si mangsa. Ia mendekati beruang madu, mencari posisi yang paling pas untuk melepaskan peluru. Langkahnya yang mantap senyap di atas tanah. Semua dilakukan dengan mudah, mungkin terlalu mudah bagi si pemburu yang sudah bertahun-tahun melakukannya sampai ia tidak sengaja menginjak botol plastik di tanah.
Kreeek…. Sreekkk.
Suara itu membelah keheningan di hutan itu. Seketika fokus sang pemburu buyar, ia melihat ke bawah untuk melihat apa yang telah ia injak. Si beruang madu yang juga mendengar suara tersebut, memalingkan pandangannya dari pria berbahaya itu dan lekas melarikan diri. Sial! Sang Pemburu tidak rela membiarkan buruannya kabur di hadapan dia maka dengan segera ia mengejarnya dan akhirnya melepas peluru dari senapannya.
Dor!
Si beruang tumbang dalam satu tembakan. Dari jauh sang pemburu mendekati binatang itu. Tubuhnya masih kembang kempis seolah-olah masih berpegangan pada sisa-sisa kehidupannya. Ketika sang pemburu sudah berada di depan beruang, ia bisa lihat mata binatang itu berkaca-kaca. Matanya yang sayu menatap sang pemburu dalam-dalam seakan-akan sedang menangis dan memohon diampuni oleh si pemburu. Tanpa belas kasihan, sang pemburu kembali membidik senapannya dan ajal pun menjemput si beruang.
Dor!

Hari itu, sang pemburu sangat senang dengan hasil buruannya. “Lumayan, bisa untuk dimakan dan dijual,” pikirnya.

Ia kemudian mulai bersiul di perjalanan pulang menuju kabin. Tubuhnya yang tua namun kekar itu menyeret bangkai beruang yang menyimpan dua buah kehidupan yang tak akan mengenal dunia ini dan hutan plastik itu.

#katahatiproduction
#katahatichallenge 

-ali

--------------------
((Catatan Pribadi))
Ada beberapa hal menarik yang saya temui untuk penulisan cerpen ini. Beruang madu dalam cerita ini rupanya adalah satu-satunya spesies beruang di Indonesia (maaf, saya baru tahu sekarang, hahahaha) dan sangat sedih untuk melihat artikel yang memberitakan bagaimana beruang ini diburu kemudian dimakan (bisa coba cek di google). Indonesia kaya akan flora dan fauna namun juga sangat rentan apabila penduduknya tidak melestarikan keindahan keragaman makhluk hidup yang hidup di tanah Nusantara.

Share:

0 comments:

Post a Comment